Nuhibbuka Ya Rasulullah
Rasulullah dalam mengenangmu,
kami susuri lembaran sirahmu,
pahit getir perjuaanganmu,
membawa cahaya kebenaran…
kami susuri lembaran sirahmu,
pahit getir perjuaanganmu,
membawa cahaya kebenaran…
Engkau taburkan pengorbananmu,
untuk umatmu yang tercinta,
biar terpaksa tempuh derita
cekalnya hatimu menempuh ranjaunya…
:::Rasulullah-Nazrey Johani):::
untuk umatmu yang tercinta,
biar terpaksa tempuh derita
cekalnya hatimu menempuh ranjaunya…
:::Rasulullah-Nazrey Johani):::
Hikmah dari momentum
maulid nabi muhammad SAW ialah sebagai berikut :
Pertama, meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Bagi seorang mukmin, kecintaan
terhadap Rasulullah SAW. adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari
keimanan. Kecintaan pada utusan Allah ini harus berada di atas segalanya,
melebihi kecintaan pada anak dan isteri, kecintaan terhadap harta,
kedudukannya, bahkan kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Rasulullah
bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ – رواه
البخاري
Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih
dicintainya daripada orangtua dan anaknya. (HR. Bukhari).
Kedua, meneladani perilaku dan perbuatan mulia Rasulullah SAW. dalam
setiap gerak kehidupan kita.
Allah SWT. bersabda :
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا – الأحزاب 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Kita tanamkan keteladanan Rasul ini
dalam keseharian kita, mulai hal terkecil, hingga paling besar, mulai kehidupan
duniawi, hingga urusan akhirat. Tanamkan pula keteladanan terhadap Rasul ini
pada putra-putri kita, melalui kisah-kisah sebelum tidur misalnya. Sehingga
mereka tidak menjadi pemuja dan pengidola figur publik berakhlak rusak yang
mereka tonton melalui acara televisi.
Ketiga, melestarikan ajaran dan misi
perjuangan Rasulullah, dan juga para Nabi.
Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir,
Rasul meninggalkan pesan pada umat yang amat dicintainya ini. Beliau bersabda :
تَرَكْت فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم – رواه مالك
“Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya,
yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya sallallahu alaihi wa sallam” (HR. Malik).
Rasul juga mewariskan misi perjuangan kepada generasi
penerus beliau, yakni para ulama’ dari masa ke masa. Mereka, para ulama’ adalah
pewaris para Nabi. Rasulullah SAW. bersabda :
وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ
بِحَظٍّ أَوْفَرَ – رواه أبو داود والترمذي وابن حبان
Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, akan tetapi ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia
mengambilnya dengan bagian sempurna. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Hibban).
*wallalhu
a`lam bissawab
COOMING SOON
::::::::::::
COMING SOON ::::::::::::
LDKm MD’U Present:
“Training Pendidikan Menghadirkan Executive
Director Kualita Pendidikan Indonesia-KPI
(Shobikhul Qisom, M.Pd)”
Dengan Tema : Guru
Profesional, Pendidikan Bermoral, Siswa Berintelektual
So, ikuti terus info selanjutnya.. Jangan sampai Ketinggalan..
Lebah Madu
<![endif]-->
Ukhuwah
Islamiyah
Sang Kader Dakwah
Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka, mereka berdo’a, “ Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau
tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Hasyr:10)
Kita tidak akan bisa menyatakan pada orang
lain bahwa kita adalah seorang muslim apabila kita tidak berusaha menampilkan
kebiasaan-kebiasaan yang Islami, maka bagaimanakah menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan Islami itu..??? Sesungguhnya kebiasaan merupakan gabungan
antara kemauan, pelatihan dan pengulangan. Karena itu untuk menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan Islami tentu perlu terlebih dahulu kita harus memiliki
pengetahuan Islam yang cukup. Dengan modal itu kita akan termotivasi, kemudian
setelah itu baru akan terasahlah keterampilan kita. Sehinga kita tidak perlu
malu jika kita tampak tampil Islami.
Maka logislah jika kita harus berparadigma yang Islami,
membiasakan hidup Islami. Karena, ketika kita seorang muslim maka ketika itulah
tali persaudaraan mengikat kita dengan saudara semuslim lainnya, dan secara
otomatis sudah keharusan bagi kita sesama muslim menunjukan identitas Islami
yaitu dengan menguatkan Ikatan Ukhuwah Islamiyah diantara kita.
Potret ukhuwah islamiyah yang telah dilakoni para
pendahulu telah menggoreskan kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban
manusia. Bagaimana tidak, seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih
memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih
mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri
meskipun mereka teramat membutuhkannya.
“Dan contoh lain yaitu ketika orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) pada saat kedatangan saudaranya dari
makkah (kaum Muhajirin) mereka kaum anshar begitu bahagia menyambut dan
mencintai saudaranya yang berhijrah,
memberikan perlenkapan dan kebutuhan hidup untuk saudaranya.
Dan itu semuanya tiada menaruh
keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada (kaum
Muhajirin) dan mereka me- ngutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu.
Dan ada lagi sebuah kisah tentang ukhuwah, “Pagi-pagi
Rasulullah SAW tersenyum ketika mendengar informasi bahwa ada seorang sahabat
yang telah membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain. Ketika itu
di sebuah rumah ada seseorang bertamu ke rumah tersebut, kemudian tuan rumah
tersebut menjamu tamunya dengan hidangan yang sudah disediakan sebelumnya untuk
keluarga mereka. Menyadari keterbatasan hidangan yg hanya sedikit, dan
mengharapkan tamunya berselera menyantap hidangannya, dia mematikan lampu
rumah, sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan
tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang saja.
Untuk menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap
makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan
senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW. Maka dapatlah
terlihat sudah betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Dengan
ukhuwah islamiyah yang didasari oleh pondasi keimanan mereka dapat memposisikan
diri secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan saudaranya.
Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa
bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.
Lantas apakah sudah Ikatan Ukhuwah Islamiyah ini ada pada
diri kita sekarang..?? Apakah peran kita
sebagai seorang Aktivis Dakwah sudah mencoba menerapkannya kepada saudara
seiman kita..?? Jika belum maka perlu lagi bagi kita mengenal lagi sebuah kata
sacral dari perjuangan dakwah ini, yaitu “UKHUWAH”. Tidak sekedar belajar untuk
tahu tapi juga untuk mengamalkannya terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi
dalam pengamalannya sendiri proses yang
Ukhuwah Islamiyah memerlukan proses yang agak panjang, bertahap, berterusan.
Setidak-tidaknya ada empat (4) tahap yang mesti dilalui sebelum terciptanya
Ukhuwah Islamiyah yang benar-benar kuat dan utuh tersebut.
Pertama, tahap Ta’aruf (Saling Kenal Mengenal), dalam tahap ini, seorang muslim tidak hanya
mengenal begitu sahaja saudaranya; namun ia seharusnya pergi lebih jauh dan
mencoba untuk mengenali bagian bagian dari diri saudaranya, seperti penampilan
saudaranya, sifat-sifat saudaranya. pemikiran saudaranya dan bahkan jalan
pikiran saudaranya itu. Dan pada intinya pengenalan dalam tahap ini mencakupi
aspek fisik, pemikiran dan kejiwaan.
Kedua, tahap Tafaahum (Saling Memahami), ini
merupakan tahap yang penting kerana ia mencakupi berbagai proses penyatuan.
Seperti juga dalam tahap pertama, ruang lingkup proses ‘tafaahum’ ini adalah
lebih kurang sama. Perbezaannya terletak pada kekuatan pengenalan.
Pada tahap ini, setiap muslim
dituntut untuk memahami :
a. Kebiasaan saudaranya.
b. Kesukaan saudaranya.
c. Karakter saudaranya.
d. Ciri khas individu.
e. Cara berfikir saudaranya.
Dengan yang demikian,
perasaan-perasaan seperti “tidak enak”, “tidak sesuai” dan sebagainya dapat
dihapuskan dalam rangka saling menasihati.
Ketiga, tahap Ta’awun (Saling Tolong Menolong), dalam
proses penyatuan kerja, adalah suatu yang mutlak diperlukan usaha
tolong-menolong yang merupakan usaha lanjutan dari tahap ‘tafaahum’ (saling
memahami). Saling mengenal semata-mata tanpa diteruskan dengan saling memahami
tidak akan mampu membentuk hubungan antara individu yang mampu tolong menolong,
saling isi-mengisi dengan kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada setiap
individu.
Keempat, tahap Takaaful (Saling Memikul Beban), tahap
ini merupakan puncak dari proses Ukhuwah Islamiyyah iaitu terletak pada
timbulnya rasa senasib dan sepenanggungan meliputi suka mahupun duka dalam
setiap langkah kerja. Apabila tahap takaaful ini terwujud, maka ikatan Ukhuwah
Islamiyahpun terbentuk dengan utuh.
Bonus, Itsar,mementingkan orang lain lebih dari diri
sendiri. Urgensi dan keutamaan Itsar dalam QS 9:128 digambarkan sifat-sifat
Rasulullah saw. yang mudah berempati pada penderitaan orang lain, senantiasa
menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang
terhadap sesama mukmin. Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia
akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya
mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap
penyakit kronis berupa KKN.
Kehidupan yang individualistis
(nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh
terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah
Islamiyah. Rasulullah mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur
dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits
lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”
Jadi
sifat itsar sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois,
kikir, individualis dsb serta menumbuhsuburkan sifat-sifat mulia seperti
peduli, empati, pemurah dll.
Keutamaan orang yang berbuat itsar
di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya
dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat
dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga).
Didedikasikan untuk
segenap Aktivis Da’wah LDKm MD’U dimanapun berada…
PILIH ALLAH ATAU DIA
Mendengar
judul di atas, tentunya pasti otak
tersetting pilih Allah, namun apakah hati nurani sejalan dengan setting dalam
otak kita. Hal itulah yang harus kita tanyakan pada jiwa-jiwa kita
masing-masing.
Rasullulah SAW bersabda:
عَنْ
عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Dari Umar bin al
Khaththab, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung
dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia
nikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.
Ketika muncul niat yang tidak benar, maka apa yang didapatkan pasti tidak benar pula. Hal tersebut berpengaruh pada apapun yang kita lakukan, apalagi menyangkut akan ibadah. Dan perlu kita luruskan niat melakukan segala amal kebaikan hanya untuk Allah Ta’ala semata. Hal yang perlu kita waspadai ketika niat melenceng adalah riya’. Dikutip menurut Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Riya’ juga merupakan syirik kecil yang dapat melunturkan amal kebaikan kita. Lantas apakah kita mau melakukan hal yang intinya akan luntur jua?? Naudzubillahimin dzalik.
Adapun hal hal yang dapat kita lakukan untuk menghindari sifat riya’:
1.
Berusaha untuk tidak
menikmati pujian-pujian dari orang lain dan menikmati segala ejekan sebagai
nasihat intropeksi diri.
2.
Membiasakan diri menyembunyikan
amalan
Telah dicontohkan
oleh para salafus shaleh mereka berusaha menyembunyikan amalan yang dapat
disembunyikan untuk menghindari riya’ dan menjaga hati-hati mereka terhadap
amalan yang tidak mungkin dapat disembunyikan.
3.
Berdoa.
Abu Musa Al-‘Asy’ari Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkhutbah kepada kami:
”Wahai sekalian manusia, takutlah akan syirik ini (riya’) karena ia lebih
tersembunyi dari pada rayapan seekor semut”,
lalu salah seorang bertanya, “Ya
Rasulullah, bagaimana kita mewaspadainya ?
Beliau menjawab: Berdoalah dengan doa ini:
اَللَّهُمَّ إِنــــَّـا نـَعُوْذُبـِكَ اَنْ نـُشْرِكَ بِكَ
شـَـيْئـًا نـَعْلَمُهُ وَ نــَشْتـَغـْفِرُ كَ لمِاَ لاَ نــــَـعْلَمْهُ
“Ya Allah, kami berlindung kepada Engkau
dari mempersekutukan sesuatu dengan-Mu apa yang kami ketahui dan kami memohon
ampunan dari apa yang kami tidak ketahui.” (HR. Ahmad)
Masih pantaskah
kita membandingkan Allah dengan dia? Allah yang memberikan semua kenikmatan
yang tak terhingga.. Perhitungan matematika pun tak sanggup menhitungnya. Oleh karena
itu sahabat, marilah kembali mensucikan niat kita, lakukan semuanya karena
Allah semata.
Langganan:
Postingan (RSS)