<![endif]-->
Ukhuwah
Islamiyah
Sang Kader Dakwah
Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka, mereka berdo’a, “ Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau
tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Hasyr:10)
Kita tidak akan bisa menyatakan pada orang
lain bahwa kita adalah seorang muslim apabila kita tidak berusaha menampilkan
kebiasaan-kebiasaan yang Islami, maka bagaimanakah menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan Islami itu..??? Sesungguhnya kebiasaan merupakan gabungan
antara kemauan, pelatihan dan pengulangan. Karena itu untuk menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan Islami tentu perlu terlebih dahulu kita harus memiliki
pengetahuan Islam yang cukup. Dengan modal itu kita akan termotivasi, kemudian
setelah itu baru akan terasahlah keterampilan kita. Sehinga kita tidak perlu
malu jika kita tampak tampil Islami.
Maka logislah jika kita harus berparadigma yang Islami,
membiasakan hidup Islami. Karena, ketika kita seorang muslim maka ketika itulah
tali persaudaraan mengikat kita dengan saudara semuslim lainnya, dan secara
otomatis sudah keharusan bagi kita sesama muslim menunjukan identitas Islami
yaitu dengan menguatkan Ikatan Ukhuwah Islamiyah diantara kita.
Potret ukhuwah islamiyah yang telah dilakoni para
pendahulu telah menggoreskan kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban
manusia. Bagaimana tidak, seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih
memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih
mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri
meskipun mereka teramat membutuhkannya.
“Dan contoh lain yaitu ketika orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) pada saat kedatangan saudaranya dari
makkah (kaum Muhajirin) mereka kaum anshar begitu bahagia menyambut dan
mencintai saudaranya yang berhijrah,
memberikan perlenkapan dan kebutuhan hidup untuk saudaranya.
Dan itu semuanya tiada menaruh
keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada (kaum
Muhajirin) dan mereka me- ngutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu.
Dan ada lagi sebuah kisah tentang ukhuwah, “Pagi-pagi
Rasulullah SAW tersenyum ketika mendengar informasi bahwa ada seorang sahabat
yang telah membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain. Ketika itu
di sebuah rumah ada seseorang bertamu ke rumah tersebut, kemudian tuan rumah
tersebut menjamu tamunya dengan hidangan yang sudah disediakan sebelumnya untuk
keluarga mereka. Menyadari keterbatasan hidangan yg hanya sedikit, dan
mengharapkan tamunya berselera menyantap hidangannya, dia mematikan lampu
rumah, sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan
tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang saja.
Untuk menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap
makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan
senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW. Maka dapatlah
terlihat sudah betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Dengan
ukhuwah islamiyah yang didasari oleh pondasi keimanan mereka dapat memposisikan
diri secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan saudaranya.
Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa
bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.
Lantas apakah sudah Ikatan Ukhuwah Islamiyah ini ada pada
diri kita sekarang..?? Apakah peran kita
sebagai seorang Aktivis Dakwah sudah mencoba menerapkannya kepada saudara
seiman kita..?? Jika belum maka perlu lagi bagi kita mengenal lagi sebuah kata
sacral dari perjuangan dakwah ini, yaitu “UKHUWAH”. Tidak sekedar belajar untuk
tahu tapi juga untuk mengamalkannya terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi
dalam pengamalannya sendiri proses yang
Ukhuwah Islamiyah memerlukan proses yang agak panjang, bertahap, berterusan.
Setidak-tidaknya ada empat (4) tahap yang mesti dilalui sebelum terciptanya
Ukhuwah Islamiyah yang benar-benar kuat dan utuh tersebut.
Pertama, tahap Ta’aruf (Saling Kenal Mengenal), dalam tahap ini, seorang muslim tidak hanya
mengenal begitu sahaja saudaranya; namun ia seharusnya pergi lebih jauh dan
mencoba untuk mengenali bagian bagian dari diri saudaranya, seperti penampilan
saudaranya, sifat-sifat saudaranya. pemikiran saudaranya dan bahkan jalan
pikiran saudaranya itu. Dan pada intinya pengenalan dalam tahap ini mencakupi
aspek fisik, pemikiran dan kejiwaan.
Kedua, tahap Tafaahum (Saling Memahami), ini
merupakan tahap yang penting kerana ia mencakupi berbagai proses penyatuan.
Seperti juga dalam tahap pertama, ruang lingkup proses ‘tafaahum’ ini adalah
lebih kurang sama. Perbezaannya terletak pada kekuatan pengenalan.
Pada tahap ini, setiap muslim
dituntut untuk memahami :
a. Kebiasaan saudaranya.
b. Kesukaan saudaranya.
c. Karakter saudaranya.
d. Ciri khas individu.
e. Cara berfikir saudaranya.
Dengan yang demikian,
perasaan-perasaan seperti “tidak enak”, “tidak sesuai” dan sebagainya dapat
dihapuskan dalam rangka saling menasihati.
Ketiga, tahap Ta’awun (Saling Tolong Menolong), dalam
proses penyatuan kerja, adalah suatu yang mutlak diperlukan usaha
tolong-menolong yang merupakan usaha lanjutan dari tahap ‘tafaahum’ (saling
memahami). Saling mengenal semata-mata tanpa diteruskan dengan saling memahami
tidak akan mampu membentuk hubungan antara individu yang mampu tolong menolong,
saling isi-mengisi dengan kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada setiap
individu.
Keempat, tahap Takaaful (Saling Memikul Beban), tahap
ini merupakan puncak dari proses Ukhuwah Islamiyyah iaitu terletak pada
timbulnya rasa senasib dan sepenanggungan meliputi suka mahupun duka dalam
setiap langkah kerja. Apabila tahap takaaful ini terwujud, maka ikatan Ukhuwah
Islamiyahpun terbentuk dengan utuh.
Bonus, Itsar,mementingkan orang lain lebih dari diri
sendiri. Urgensi dan keutamaan Itsar dalam QS 9:128 digambarkan sifat-sifat
Rasulullah saw. yang mudah berempati pada penderitaan orang lain, senantiasa
menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang
terhadap sesama mukmin. Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia
akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya
mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap
penyakit kronis berupa KKN.
Kehidupan yang individualistis
(nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh
terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah
Islamiyah. Rasulullah mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur
dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits
lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”
Jadi
sifat itsar sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois,
kikir, individualis dsb serta menumbuhsuburkan sifat-sifat mulia seperti
peduli, empati, pemurah dll.
Keutamaan orang yang berbuat itsar
di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya
dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat
dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga).
Didedikasikan untuk
segenap Aktivis Da’wah LDKm MD’U dimanapun berada…
0 komentar:
Posting Komentar