Salah seorang ulama ditanya: “Mengapa perkataan
Salafus Shalih lebih bermanfaat dari perkataan kita?” maka iapun menjawab :
“karena mereka berbicara untuk kemuliaan islam, untuk keselamatan jiwa, untuk
mencari ridho Allah yang Maha Pemurah sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan
diri, mencari dunia dan mencari keridhoaan makhluk”. (Sifatu Sofwah Karya Ibnul
Jauzi 4/122)
Aktivis
Lilin or Aktivis Dakwah??
What do
You Choose?...
Dinamis dalam dakwah, performa sempurna, dan
membangun kesan produktif. Dikenal sebagai aktivis dakwah. Tapi benarkah ini
proses membangun? Ataukah tabir di balik kelemahan? Yang memberi cahaya tapi
menghabiskan potensi dan nilai diri? Membakar habis ruh yang bergerak dalam
jasad yang ragu, seperti lilin…?! “Sebenarnya
umat Islam tidak kekurangan kuantitas, tetapi telah kehilangan kualitas. Kita
telah kehilangan bentuk dan keteladanan manusia muslim yang kuat imannya, yang
membulatkan dirinya untuk dakwah, yang rela berkorban di jalan dakwah dan jihad
fii sabilillah, dan yang senantiasa istiqomah sampai akhir hayatnya. Maka
marilah kita beriltizam dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha menukarnya
dengan cara-cara yang lain.” Demikian taujihat yang disampaikan oleh Syaikh
Musthafa Masyhur.
Inilah arahan yang mengajarkan kita tentang tujuan dari sebuah kerisauan. Kepada umat dan kader dakwah ini, risau karena kualitas, dan bukan sekedar pada kuantitas. Risau kepada diri kita, kepada keluarga, dan kepada seluruh manusia yang telah dan akan membangun interaksinya dengan kita. Interaksi spesifik, interaksi ketaatan, interaksi dakwah.
Inilah arahan yang mengajarkan kita tentang tujuan dari sebuah kerisauan. Kepada umat dan kader dakwah ini, risau karena kualitas, dan bukan sekedar pada kuantitas. Risau kepada diri kita, kepada keluarga, dan kepada seluruh manusia yang telah dan akan membangun interaksinya dengan kita. Interaksi spesifik, interaksi ketaatan, interaksi dakwah.
Gambaran
tersebut diwakili oleh Fulan, seorang aktivis dakwah kampus. Perenungan
mengantarkannya pada diskusi dalam sebuah majelis yang diikutinya. “Ustadz, ini
menjadi masalah besar dalam diri ane. Ane mencermati perilaku dan keluhan
aktivis dakwah. Gambarannya begini. Ketika seorang hamba memiliki kuantitas
ibadah yang bertambah, maka seharusnya berkorelasi positif dengan
kualitas
keimanan hamba tersebut. Dalam perspektif dakwah pun seharusnya berlaku hal
yang sama. Seorang aktivis, ketika frekuensi aktivitas dakwahnya makin padat
maka seharusnya ia juga memiliki kualitas keimanan yang juga meningkat. Akan
tetapi kenyataan di lapangan terlihat agak berbeda. Seringkali aktivitas dakwah
yang padat justru menggerus dan menyerap habis kesabaran, tabungan empati, dan
kedewasaan seorang da’i. Kami menjadi lebih emosional, kehilangan nuansa ukhuwah, dan yang parah adalah melihat
amanah dakwah sebagai sesuatu beban. Kami merasa terjebak dalam ‘sekedar’
aktivitas formal keorganisasian, sekedar menjadi robot-robot pelaksana proker.
Bahwa amalan tersebut tidak berbeda dari amalan mahasiswa lain yang menggelar
konser musik kampus dan yang sejenisnya. Parahnya lagi, mereka terlihat lebih
‘hidup’ dengan dinamika aktivitasnya dibandingkan dengan nuansa yang kami
miliki dalam mengemban amanah dakwah ini. Bahkan kadang-kadang setan datang dan
memberikan was-was. Muncul pertanyaan-pertanyaan, susah amat sih menjadi selalu baik di
hadapan orang. Atau ungkapan bahwa ane merasa memiliki kepribadian ganda, di
depan orang lain selalu dituntut baik, tapi sebenarnya lemah ketika sendirian,
dan seterusnya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”
AKTIVITAS
LILIN
Gambaran
kondisi aktivis dakwah yang diwakili Fulan adalah gambaran aktivis lilin.
Tampil sebagai da’I yang memberikan pencerahan kepada masyarakat kampus, akan
tetapi secara sadar membakar habis potensi keimanan yang dimiliki. Penyebabnya adalah
pemahaman yang memandang agenda dakwah berbingkai kegiatan organisasi selalu
lebih utama dari agenda pembinaan. Perilaku
turunannya adalah tidak jarang aktivis dakwah meminta izin dari jadwal
tarbiyah karena ada syura dakwah. Pada saat itulah potensi keimanan sang
aktivis tidak ter- up grade. Padahal itulah bekalan yang harus selalu tersedia
dalam agenda dakwah, sekecil apapun. Dari pemahaman yang keliru tadi, aktivitas
dakwah sang aktivis ‘membakar’ habis potensi dirinya. Mejadi futur adalah konsekuensi
logis yang pasti terjadi. Tanpa
kita sadari seringkali kita terjebak di dalam konteks tersebut. Semangat yang
kita miliki dalam dakwah sangat kondisional. Tidak didukung oleh agenda
persiapan yang berkesinambungan. Ketika lingkungan kondusif untuk dakwah, maka kita akan tampil
optimal.akan tetapi ketika lingkungan melemah dan amanah dakwah hanya
tersampir di pundak
segelintir ikhwah, maka kita pun melemah. Tidak mustahil akhirnya semangat
dakwah kita kian melemah, meleleh, dan akhirnya padam, layaknya sebatang lilin.
SUBSTANSI
DAN KEDUDUKAN TARBIYAH
Jika tarbiyah tidak
penting, tidak mungkin Syaikh Musthafa Masyhur menegaskan, “Marilah kita
beriltizam dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha menukarnya dengan cara-cara
yang lain.” Sebab tarbiyah adalah
wadah dimana kita melengkapi pemahaman dan bekalan dakwah.
Modal yang menjelma menjadi ciri dan
karakter kita dalam menegakkan amanah kebaikan dan menyerukan Islam. Dimanakah kiranya kita bisa
dapatkan tempat yang menempa kita menjadi seorang mujahid? Sosok yang memiliki
tingkat pemahaman yang tinggi kepada agamanya, pemahaman yang menyeluruh,
lengkap, dan orisinal terhadap Kitabullah dan Sunnaturrasul. Dan ia harus
memiliki keikhlasan yang besar untuk menjadi laskar dakwah dan aqidah.
Bukan sekedar laskar organisasi kampus
apalagi laskar lainnya yang hanya mengejar keuntungan dan tujuan materi semata.
Bukan pula laskar yang semata-mata mengejar kepentingan diri sendiri dan
popularitas. Menjadi sosok yang mengutamakan kerja daripada hanya sekedar
berbicara. Yang seimbang perkataan dengan
perbuatan. Yang mengenal dengan pasti jalan yang dilaluinya dan
mengikhlaskan niatnya karena Allah semata. Sosok yang bertekad untuk dakwah dan
membebaskan dirinya dari segala prinsip selain Islam dan dari manusia yang
tidak menyetujui dakwah Islam. Kemudian
ia menyiapkan dan menyediakan dirinya untuk berjihad di jalan Allah demi
meninggikan Kalamullah dengan mengorbankan segala yang dimilikinya, jiwa,
harta, waktu, dan usaha. Sosok yang oleh Allah ditawar tinggi dengan tebusan
kemuliaan, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari diri orang-orang yang beriman
dari diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka.” (QS.At
Taubah: 111). Dimanakah kiranya sosok itu dibentuk selain dari sebuah wadah
pembinaan yang berkesinambungan. Pembinaan yang terukur dan sarat dengan proses
implementasi nilai. Wadah yang
menghimpun komitmen dan keinginan sekaligus membakar kelemahan dan
tujuan yang menyimpang. Lingkungan yang memungkinkan kita memaksa diri untuk
ikhlas menaati ketetapan Allah, penuh rasa ukhuwah, dan saling taushiyah. Maka
marilah kita renungkan, sekuat apakah kita akan bertahan dalam dinamika yang
secara paksa merenggut semua peluang keimanan kita. Apalagi kalau kita berpikir
masih dapat berpartisipasi melawan
hegemoni kemaksiatan dan kemusyrikan serta budaya hidup yang melenakan.
Kecuali dengan pengkondisian yang terstruktur dan terpantau, bersama
orang-orang yang memiliki komitmen yang sama, serta saling menguatkan,
melengkapi pemahaman dan bekalan yang dibutuhkan, hidup dalam tarbiyah. Maka
dengan itulah kita mampu bertahan dalam pertarungan besar ini. Jika tidak, maka
kita hanya akan mengulang kisah sedih para aktivis lilin yang tertipu oleh kekuatan
dirinya, yang berakhir tidak bersisa kecuali menjadi debu yang tidak bermakna.
Na’udzubillahi min dzalika.
EPILOG
Kembalilah kepada tarbiyah sebagai langkah awal memulai
kehidupan dakwah kita. Sebagai lingkungan membangun karakter mujahid diri
kita. Karena dakwah ini tidak hanya menuliskan kisah-kisah keberhasilan dan
kejayaan, melainkan juga penderitaan dan kesedihan, kisah pengorbanan yang
menuntut pembuktian. Bukankah Allah
telah mengingatkan kita, “Adakah manusia menyangka mereka mereka
akan dibiarkan berkata, ’Kami telah beriman.’ Padahal mereka belum diuji
dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka, supaya Kami mengetahui orang-orang yang benar dan
orang-orang yang dusta.” (QS.Al Ankabut: 2-3). Dengan tarbiyah
marilah kita berhimpun dalam barisan aktivis dakwah, bukan aktivis lilin.
Karena tarbiyah adalah wujud langsung komitmen kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW. Proses pembinaan diri mengarahkan kita untuk taat pada ketetapan Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini menuntut komitmen dan
memaksa kelemahan kita, yang juga berarti menyiapkan kita untuk dapat
bertahan dalam berbagai ujian dan beban yang semakin berat. “Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
seperti (yang dialami) oleh orang-orang sebelum kamu. Mereka ditimpa
kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ”Kapankah datang
pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (QS. Al
Baqarah: 214)
Masihkah
kita bisa merasa tidak merugi ketika mengurangi dan tidak mengoptimalkan
kesempatan dalam berbagai agenda tarbiyah kita? Belum tibakah saatnya memaksa
kelemahan diri untuk patuh pada semangat kebangkitan yang sering kita
cita-citakan?
“Wahai
Orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Itu sangatlah dibenci di sisi
Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS.
Ash Shaff : 2-3)
Didedikasikan
untuk segenap Aktivis Da’wah LDKm MD’U dimanapun berada…
New Edition 001/VII/1433 H